Dalam Buku H.M. Taulu, Kaum Minahasa (Malesung) adalah satu dari 5 Kaum/Suku pendatang di Minahasa. Dari Kaum Minahasa ini lahirlah 4 Kelompok Besar yang menjadi Sub-Etnis, yaitu : Tonsea, Tombulu, Tontemboan / Tompakewa dan Toulour / Tondano. Ds. J.G.F. Riedel (Anak Ds. J.G. Riedel), sekitar tahun 670 M diadakan Musyawarah I di Watu Pinawetengan untuk pembagian Tanah Minahasa oleh Keturunan Toar-Lumimuut. Sejak pertemuan Pinawetengan ini, Sub-Etnis Tountembouan/Tompakewa menempati tempat yang bernama Tumaratas, dekat negeri Tumaratas, sekarang masuk wilayah Kota Langowan (RC Assa: “Kawangkoan Dalam Sejarah Minahasa” + 1977). Seiring dengan pertambahan populasi, beberapa kelompok orang kemudian keluar mencari tempat perkebunan yang baik dan luas dan setelah mendengar siulan bunyi burung yang dipercayai saat itu, akhirnya memutuskan beralih dari tempat yang dinamakan Tumaratas itu. Kelompok orang yang selanjutnya menjadi satu kesatuan keluarga, datang dan menempati suatu dataran (saat ini berada di sebelah Utara desa Kayuuwi), kemudian mereka beralih lagi kesebelah timur, yaitu suatu tempat yang dinamakan Le’ler (sekarang sebelah Utara Kelurahan Talikuran Utara). Sebelum membuka pemukiman ditempat itu, kelompok ini mengadakan Upacara Tradisional yang dinamakan Mangaley (Ibadah) yang dipimpin oleh Apo LazarTumbelaka (Apo Puser in Tana’). Dalam bahasa Tountembouan, ‘puser’ artinya pusat (maksudnya pusat tanah Minahasa), ‘Tumbel’ berarti pangkas, sedangkan ‘Laka’ berarti laki-laki, merah dan pemberani. Dengan demikian LazarTumbelaka berarti: Seorang laki-laki pemberani yang membuka atau memangkas tanah di pusat Minahasa(Bernard Umbas, 2002). Apo Lazar Tumbelaka kemudian mendirikan sebuah ‘terung’ (tempat tinggal). Lokasi terung ini tepatnya diperkebunan ‘Le’ler’ yang bersebelahan dengan ‘Tete Amut’ (jembatan dari akar yang melintasi aliran sungai Masem dengan topografi ngarai/berjurang), di bawah ‘Ro’ong Kiawa’. Setelah itu, didirikan juga sebuah ‘lawi’ (tempat tinggal yang lebih besar dari Terung). Area ini diapit oleh 2 aliran sungai, yaitu sungai Masem (selatan) dan sungai Ranowangko. Kedua sungai ini selanjutnya bertemu di bagian barat area ini, yang menjadi awal aliran sungai Nimanga. Karena makin lama penghuni semakin bertambah maka mereka mendirikan ‘mawale’ (tempat hunian yang lebih besar dari ‘lawi’). Nama Mawale dan Le’ler ini kemudian menjadi nama perkebunan. Setelah mendiami ‘Mawale’, selanjutnya mereka masih melakukan lagi perpindahan. Menurut Drs. Marthin Palit (1997), mula-mula perpindahan ini dikarenakan di Mawale / lembah Nimawale kurang mendapatkan cahaya matahari, sehingga penduduk pada saat itu berusaha untuk mendapatkan tempat yang banyak mendapatkan sinar matahari.
Migrasi ‘penduduk Kawangkoan mula-mula’ dari negeri Mawale/Nimawale, terjadi pada abad ke-17 yang dipimpin oleh Tonaas Tumilaar (tonaas ini kemudian mendapat gelar Majoor dari pemerintahan Belanda). Menurut Palit, proses perpindahan ini berlangsung sampai sekitar tahun 1820 dan tercatat Sendangan didirikan oleh pemimpin masyarakat pada waktu itu (Tonaas) yang bernama Alinis Mambo. Pada tahun 1831, dengan pimpinan Tonaas Poluakan, penduduk Kawangkoan dibagi dalam beberapa kelompok. Kelompok yang mendiami tempat sebelah timur dan mendapatkan sinar matahari dikenal dengan nama ‘Sendangan’, kelompok yang mendiami bagian tengah dikenal dengan nama ‘Uner’ di bagian barat dengan nama Talikuran dan kelompok lainnya lagi melewati seberang jurang dinamakan ‘Kinali’.
Berkaitan dengan perpindahan penduduk ini, ada tulisan lain yang memunculkan nama Tongkimbut. Negeri awalnya diduga di lokasi Leler dekat Kiawa bernama Malemboly dan Paweletan yang disatukan Rumbai, penghulu (hulu bangsa) pertama menjadi Tongkimbut. Dari sini Tongkimbut memecah. Tongkimbut Atas menjadi Kawangkoan dan Tongkimbut Bawah menjadi Sonder sebagai balak tersendiri. Kawangkoan kini baru dibangun di lokasi sekarang, pindah dari Leler, dibawah pimpinan Kepala Balak Poluakan 1831, meski ada versi dipindahkan Alanus Mambu sejak tahun 1820-an. Lokasi pemukiman di sebelah Selatan sungai Ranowangko, pada saat itu disebut Tongkimbut I dan pemukiman di sebelah Utara disebut Tongkimbut II. Tongkibut I inilah yang menjadi asal mula Talikuran dan Kawangkoan Bendar, sedangkan Tongkibut II saat itu berlokasi dan menjadi kediaman orang Kiawa, Sonder sampai ke Tino’or sekarang. Setelah menempati wilayah Talikuran saat ini, dibangunlah system pemerintahan Desa Talikuran dengan Hukum Tua 1 Thomas Poluakan.
Pakasaan, Balak lalu Distrik Kawangkoan dihadiskan didirikan oleh tonaas-tonaas: Tantering, Karusa, Lalawi, Mangentas dan Rontos. Tokoh-tokoh lain terkenal dalam legenda Kawangkoan adalah: Tumbelaka, Mamarimbing, Waraney, Rincim-Mbene (Rincembene) dan Sela Liow. Penginjil A.O.Schaafsma pada tahun 1860, menggambarkan jemaat Kristen di Kawangkoan adalah jemaat yang terbaik di Minahasa, “Jemaat ini adalah berkat Tuhan”, ungkapnya. “Welk een Land, Welk eene beschaving (Bukan main daerah ini, bukan main peradabannya) !”, seruan ini dikutip N.Graafland dari ungkapan kekaguman penuh haru Gubernur Jenderal Ch.F.Pahud saat menginjakkan kakinya di Kawangkoan pada bulan Desember 1861. Kawangkoan merupakan kewedanaan yang luas dengan jalan-jalan dan pekarangan yang terpelihara baik, sebuah gereja yang bagus serta orang-orang Kristen yang saleh. “Disana terdapat kehidupan dan kegembiraan serta kepercayaan yang menggembirakan dan prilaku yang sopan”. Demikian ungkap Ds. Nicolaas Grafland dalam buku yang aslinya berjudul “De Minahasa: Haar Verleden en Haar Tegen woordige Toestand” (1864).
Setelah pemekaran menurut SK bupati minahasa nomor 231 tahun 2008 wilayah Talikuran menjadi 3 wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Talikuran, Kelurahan Talikuran Utara dan Kelurahan Talikuran Barat.
- Letak Geografis Kelurahan Talikuran 112'20.94" LU dan 12447'18.02" BT dengan ketinggian 732 M di atas permukaan laut.
- Jumlah penduduk menurut data BPS Minahasa 2013 adalah 1.070 jiwa (546 Laki-laki, 524 Perempuan).
- Luas wilayah saat ini 1,151 Km2 (8,33% luas wilayah Kawangkoan Utara).
- Potensi pertanian yang ada: 10,21 Ha areal Sawah, 13 Ha bukan Sawah.
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.