MENGENAI TARIAN MAENGKET
Kata MAENGKET terdiri dari
kata dasar ENGKET yang artinya mengangkat tumit kaki turun naik, dan awalan MA
yang merubah kata dasar menjadi kata kerja menari-turun naik. Dengan demikian
sebutan klasifikasi jenis MAENGKET :
Maengket "Owey
Kamberu" dapat dikatakan menari "Owey Kamberu", Maengket
"Marambak" dapat dikatakan menari "Marambak", Maengket
"Lalayaan" dapat dikatakan menari "Lalayaan".
Fungsi MAENGKET dalam
upacara adat jaman tempo dulu, adalah sebagai bahagian dari serangkaian upacara
petik padi MANEMPO' (Tontemboan), MANGUPU' (Tombulu, Tonsea), MASAMBO
(Tondano). Yang terdiri dari Tarian untuk mengundang roh leluhur Dewa-Dewi dan
nyanyian memuji SI EMPUNG (Tuhan) disebut SUMEMPUNG dan minta berkat perlindungan
pada Dewa-Dewi yang disebut MENGALEI. Oleh karena itu tarian MAENGKET
sebenarnya bukan murni tarian, tapi perpaduan dua cabang kesenian yakni seni
tari dan seni menyanyi. Ada dua tarian Minahasa yang sudah punah, dimana si
penari tidak menyanyi yaitu MANGOLONG tarian upacara kedukaan dan MAHAWALIAN
tarian para pemimpin adat dan agama asli TONA'AS dan WALIAN. Dengan demikian
tarian MAENGKET termasuk cabang kesenian tradisional Minahasa, yang memiliki
"Faktor kesulitan" yang cukup tinggi dalam pelatihannya dan
penampilannya, karena harus menghayati gerak tari dan intonasi suara.
Yang dimaksud dengan
rangkaian upacara petik padi adalah musim pesta adat yang berlangsung selama
sembilan hari, dengan tarian "Maowey Kamberu", tarian
"Lalayaan" pada upacara bulan purnama MAHATAMBULELENEN (Tombulu),
MASISERAP (Tontemboan). Dan biasanya di ikuti dengan upacara SUMOLO (solo =
lampu) pada pemasangan lampu rumah baru untuk pertama kalinya, tarian pada
acara ini disebut "Marambak" (rambak = Banting kaki) untuk secara
simbolisasi menguji kekuatan rumah. Rumah adat Minahasa jaman tempo dulu
disebut "Wale wangko" (rumah besar) yang bentuknya memanjang dihuni
oleh tujuh sampai sembilan keluarga. Apabila penduduk sebuah "Wanua"
atau "Ro'ong" yang dalam bahasa melayu Manado disebut
"Negeri" sudah cukup banyak, maka dibangunlah satu rumah baru untuk
keluarga-keluarga baru yang ingin memisahkan diri dari orang tua mereka.
Peresmiannya dilakukan setelah panen raya padi yakni setelah bulan purnama
raya, urutan-urutan upacara adat telah di tentukan sebelumnya oleh pemimpin
negeri, merangkap pemimpin adapt TONA'AS WANGKO. Setelah bintang tiga
"Kateluan" terlihat, maka si Tonaas mulai membuat simpul pada seutas
tali disebut "Mamules", tiap hari membuat satu simpul pada tali
selama sembilan hari kemudian istirahat satu hari.
Kemudian dilanjutkan lagi
tujuh hari berturut-turut lalu istirahat satu hari, selanjutnya lima hari lagi
lalu istirahat, dan tiga hari lagi, pada hari berikutnya adalah bulan purnama
raya. 9 + 1 + 7 + 1 + 5 + 1 + 3 + 1 = hari ke-28 bulan purnama raya, tujuh hari
sebelum bulan purnama dilakukan tarian "Maengket Owey Kamberu"
dihalaman batu TUMOTOWA, pada hari ke-28 secara resmi panen raya dimulai, malam
harinya adalah bulan purnama raya dilakukan "Maengket Lalaya'an, tujuh
hari setelah bulan purnama dilakukan peresmian rumah baru upacara
"Sumolo". Karena TONA'AS WANGKO juga memegang jabatan sebagai TONA'AS
SAKA (Panglima perang) pemimpin para "Waranei", maka ketika melihat
bintang tiga "Kateluan" muncul, maka dia menyuruh anak buahnya
"Mamu'is" pergi menangkap tawanan bila ada upacara naik rumah baru.
Karena sebelum pemasangan atap rumah baru ada upacara "Pangari'ian"
(ari'i = tiang) raja, kurban kepala manusia ditanamkan dibawah tiang raja, inilah
yang dimaksud syair "Mangido-ngido-do" pada Maengket Marambak Tonsea.
Pemimpin tarian MAENGKET
adalah kaum wanita sebagai "Walian in uma" pemimpin upacara kesuburan
pertanian dan kesuburan keturunan, dibantu oleh "Walian Im
penguma'an" lelaki dewasa. Pemimpin golongan WALIAN atau golongan agama
asli (agama suku) disebut "Walian Mangorai" seorang wanita tua, yang
hanya berfungsi sebagai pengawas dan penasehat dalam pelaksanaan
upacara-upacara kesuburan. Untuk memulai tarian maka si pemimpin tarian
MAENGKET menari melambai-lambaikan saputangan mengundang dewi bumi (Lumimu'ut),
dan setelah kesurupan Dewi Bumi, barulah tarian dimulai, oleh karena itu semua
penari MAENGKET harus memakai saputangan. Agar supaya para penari tidak
kemasukan (kesurupan) roh jahat (Tjasuruan Lewo') ada pembantu TONA'AS WANGKO
menemani "Walian in uma" yang disebut "Tona'as in uma" pria
dewasa yang memegang tombak symbol Dewa Matahari TO'AR (To'or = Tu'ur = tiang
tegak = Tombak). Oleh karena itu di halaman batu "Tumotowak"
(Tontembuan) "Panimbe" (Tondano), "Pa'lalesan" (Tombulu),
"Pasela" (Tonsea) ditancapkan tiang-tiang bambu berhias disebut
"Tino'or" (Tontemboan), "Toto'or" (Tombulu), sewaktu
dilakukan tarian Maengket "Owey Kamberu". OWEY termasuk kata keluhan
karena lelah fisik dan lelah pikiran yang sama artinya dengan Bahasa Tondano
AMBO, rasa lelah yang berada diluar kekuasaan manusia, hingga keluhan membawa
rasa nikmat, menikmati rasa lelah karena ada hasil yang menyenangkan dibalik
kelelahan itu, misalnya lelah menanam padi akan menghasilkan kesenangan waktu
menuai padi.
Karena Minahasa terdiri
dari kesatuan beberapa sub ethnic seperti, Tontemboan, Tombulu, Tonsea,
Tondano, Tonsawang, Ratahan Ponosakan dan Bantik. Maka syair lagu nyanyian
MAENGKET juga memakai dialek bahasa-bahasa sub ethnic Minahasa tersebut,
menyebabkan ada beberapa sebutan istilah yang berbeda misalnya MA'OWEY
(Tombulu, Tonsea) di Tontemboan disebut MAWINSON, MAKAMBERU di Tombulu disebut
MAWAREI DI Amurang-Tontemboan. Tapi semua subethnik Minahasa mengakui bahwa
Dewi padi itu bernama LINGKANWENE (liklik = keliling, Wene = padi) yang
dikelilingi padi, penguasa produksi padi, suaminya adalah pemimpin semua
Dewa-dewi, Maha dewa MUNTU-UNTU. Ada tiga orang leluhur Minahasa yang bergelar
MUNTU-UNTU dan istrinya bernama LINGKANWENE, yang pertama kemungkinan hidup
abad ke-sembilan, yang kedua hidup abad ke-12, yang ketiga hidup abad 15.
MUNTU-UNTU yang terakhir inilah yang di kisahkan dalam syair "maowey
kamberu" telah dibabtis oleh Pater Spanyol masuk Kristen-katolik. Umumnya ceritera
dewa-dewi padi, MUNTU-UNTU, TAMATULAR, SAMBALEAN, PARENKUAN, TUMIDENG,
PANAMBUNAN (dewa padi lading), PALENEWEN (dewa padi sawah) dalam lagu
"Maowey Kamberu" berkisah sedih yang melelahkan hati. Tapi produksi
beras di Minahasa sangat terkenal di kawasan Indonesia Timur, sehingga
mengundang bangsa barat Spanyol menanam padi sawah di Motoling Minahasa Selatan
dan baru berakhir tahun 1644 selama satu abad. Yang bergelar MUNTU-UNTU yang
dibabtis pater Spanyol sudah pasti LOLONG LASUT karena dotu inilah yang memberi
ijin Spanyol mendirikan kantor dagang "Loji"di "Menango
labo" (pelabuhan Wenang) sekarang kota Manado.
Tangga nada lagu MAENGKET
dalam upacara adat disebut Penthatonis Owey (lima not) ; la (6), sol (5), mi
(3), re (2), do (1), dan Penthatonis ROYOR (lima not) ; si (7), la (6), sol
(5), mi (3), re (2).
Setelah tahun 1900 tarian
MAENGKET tidak lagi menjadi bahagian dari upacara adat, karena upacara-upacara
adapt di Minahasa yang disebut "Posan" tidak lagi dilakukan orang
Minahasa. Tarian MAENGKET kemudian menjadi salah satu cabang kesenian
"Seni Pertunjukkan" terutama sekali pada acara "Kuda Baan"
(Balapan kuda) di Sario-Manado, Walian-Tomohon, Kawangkoan Tonsea, Kawangkoan
Tontemboan, Tasuka-Kakas, kelompok MAENGKET saling bertanding memperebutkan
bendera merah putih. Tidak adalagi "Kesurupan" dalam menari MAENGKET
semua patokan ke-indahan penampilan lomba ditentukan berdasarkan teori
hukum-hukum seni musik dan seni tari dengan menggunakan dasar
"Estetika" seni tradisi. Sekitar tahun 1950-an setelah Hindia Belanda
angkat kaki dari Minahasa, lahirlah jenis MAENGKET "Imbasan" yang
secara umum syair utamanya mengenai perjuangan kemerdekaan dan falsafah Negara,
yang mengandung muatan misi agama Kristen disebut "Tari Jajar".
Aturan dan ketentuan tarian MAENGKET menjadi longgar dan kehilangan pegangan
yang disebut "Pakem" dalam ilmu teori tarian jawa. Oleh karena itu
banyak pakar MAENGKET di Minahasa kemudian meneliti lagi aturan-aturan Maengket
jaman sebelum tahun 1900, yang mungkin dapat di sesuaikan dengan MAENGKET jaman
sekarang.
Yang tidak dapat dirubah
lagi adalah bahwa tangga nada MAENGKET jaman sekarang adalah
"Diatonis"; do (1), 2 (re), mi (3), fa (4), sol (5), la (6), si (7),
1, satu oktaf. Pemimpin tarian MAENGKET tidak dapat lagi dinamakan "Walian
in Uma" (wanita) atau "Walian im Penguma'an" (pria) tapi disebut
KAPEL.
Tapi pengaruh fungsi
MAENGKET sebagai upacara adat jaman tempo dulu, belum sama sekali menghilang di
Minahasa hingga sekarang ini. Yakni muatan Supranatural yang dalam bahasa
Belanda disebut "Mokus Pokus" yang prakteknya masih terasa terutama
dalam acara pertandingan MAENGKET memperebutkan kejuaraan.
Tapi masalah diluar teori
ini, hanya sekedar untuk diketahui dan memang tidak dapat dibahas sebagai
pengetahuan ilmu seni, karena terdapat secara umum dalam dunia kesenian
tradisional diseluruh nusantara. Ciri has suara penyanyi MAENGKET dengan nada
keras dan melengking yang disebut "Suara lima" tidak termasuk
Supranatural, walaupun jaman tempo dulu penyanyi MAENGKET mengarahkan suaranya
ke gunung-gunung tinggi tempat bersemayam Dewa-dewi. Anggap saja hadirin dan
para penonton itu Dewa-dewi, karena nama-nama para leluhur dewa-dewi itu masih
digunakan orang Minahasa hingga sekarang ini, seperti ; TULAR (Tamatular),
TILAAR (Tumilaar), MUNTU-UNTU, MAMOTO', PARENGKUAN, PANAMBUNAN, PALENEWEN, dan
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar