Sabtu, 21 Februari 2015

Tarian Maengket


TARIAN MAENGKET PURBA SAMPAI ABAD 15


MANGORAI,
Wanita  tua pemimpin maengket Katuanan   
“Mengenai Dewa-Dewi, misalnya kisah
“Raranian ni Karema” nyanyian, 
Karema-To’ar dan Lumimuut.
( Meyer & Richter
Tarian Maengket mengandung dua unsur yakni seni menyanyi dan seni menari, dengan demikian tarian ini belum akan ada apabila orang Minahasa purba belum dapat menyanyi dan menari.

Dari kumpulan analisa dewa-dewi yang sebenarnya adalah leluhur orang Minahasa jaman purba, yang dilakukan oleh pembantu pendeta Sonder J.Albert Schwarz. dengan cara mewawancarai dan berdialog dengan para pemimpin adat wilayah Tontemboan yang bergelar TONA'AS dan WALIAN di tahun 1900. Dapatlah diketahui pembagian fungsi dan peran para leluhur orang Minahasa purba dalam komunitas awal bermasyarakat, yang pemerintahannya di pegang oleh kaum wanita.

Buku kumpulan ceritera mengenai leluhur orang Minahasa berjudul "Tontemboansche Teksten" dalam bahasa Tontemboan dan terjemahannya dalam bahasa Belanda terbit tahun 1907.

Kedua buku ini terpisah dan untuk dapat mengetahui hasil analisanya mengenai ceritera leluhur orang Minahasa jaman purba yang telah menjadi dewa-dewi, Opo'-Opo' atau APO' dalam bahasa Minahasa Tontemboan. Maka kita harus dapat mengerti bahasa tontemboan dan bahasa Belanda, karena si penulis J.alb.T.Schwarz menguasai kedua bahasa itu secara aktif walaupun dia orang Jerman tapi lahir di Langouwan Minahasa.
TUHAN orang Minahasa punya banyak nama, demikian juga leluhur purba atau penduduk awal di tanah Minahasa.

 

TUHAN disebut :

·         I Wa'ilan an dangka (si yang mulia diatas langit)

·         Empung Wangko (Tuhan maha besar)

·         Si Esa (dia yang satu)

·         Si apo' nimema i tjita (si yang menciptakan kita manusia)

 

Dewi KAREMA disebut :

·         Si mengesa-ngesa (yang hidup seorang diri, si janda)

·         Si Wine'bet = yang ditarik kelangit (nabi perempuan)

·         Sarawsanga repa    (yang tingginya sama dengan tongkat pohon jelaga, atau Asa, panjang satu depa)

·         De eerste mensch (bahasa Belanda) artinya ; Manusia pertama.Dewi LUMIMU'UT disebut :

·         Si Apo' minema in tana' (bahasa Tontemboan)

·         De vrouw die het land heft bebouwd, de woonplaatsen harer kinderen vast te stellen bahasa Belanda) artinya ;Wanita(Ibu) yang membangun bumi untuk dapat didiami dan mengatur tempat kediaman anak-anaknya. (tontemboansche Teksten terjemahan bahasa Belanda 1907 halaman 373)

 

Dewi MARUYA disebut :

·         Si Raraha (Dewi gadis) adik perempuan Dewi KAREMA

·         Si rumeingdeng in tana' (yang menyanyikan bumi, dewi penyanyi)

·         Sa rei'tja ni reingdeng I MATUYA, ya en tana' nimarai'tja (bahasa Tontemban)

·         Met de Rumeingdeng artinya ; yang dimaksudkan dengan Rumeingdeng dalam tulisan ini adalah nyanyian "Reingdeng"

 

Dengan membandingkan indentitas fungsi antara dewi LUMIMU'UT dan dewi penyanyi MARUAYA, dapat kita analisa bahwa dewi LUMIMU'UT tidak dapat mengolah bumi bila tidak di ikuti lagu "Reingdeng" yang dinyanyikan oleh dewi MARUAYA. Kesimpulannya adalah bahw seni menyanyi sudah dikenal orang Minahasa sejak jaman TO'AR dan LUMIMU'UT setelah mengenal sistim bercocok tanam.

 

Dewi RUMINTUWU' (Tuwu' = daun woka muda).

"Lintuwu" (daun woka muda) berfungsi sebagai alat "O'orai"dan tariannya disebut "Mangorai", karena terian memakai alat daun woka muda, maka si penari disebut RUMINTUMWU'.
Pada daftar anak-anak TOAR dan LUMIMU'UT (halaman. 404) ada dua dewi yakni MARUAYA dan RUMINTUWU', karena sebutan Dewi penyanyi pertama adalah adik perempuan
dewi KAREMA. Kemudian jabatan dewi penyanyi lalu berpindah digunakan sebagai nama gelar anak perempuan LUMIMUU'UT, tapi dewi penari pertama RUMINTUWU baru mulai ada setelah TOAR dan LUMIMU'UT.

Dalam bentuk selisih digambarkan sebagai berikut :

(1) LAREMA

(2) MUARAYA

(3) LUMIMU'UT bersuami

(4) TOAR,

dua orang anak perempuan perkawinan TOAR dan LUMIMU'UT bernama MARUAYA (dewi penyanyi) dan RUMINTUWU (dewi penari).


WALIAN IN UMA
Wanita  Yang memimpin Tarian Maengket
“Mamowey Kamberu”,“Rumambak “
dan “Lalayaan”
( DR. A.B Meyer 1889 )
Dengan demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa seni menyanyi yang mula-mula berfungsi dalam upacara agama asli dan upacara adat jaman purba setelah mengenal bercocok tanam. Karena agama asli Minahasa jaman purba dipimpin oleh kaum wanita jaman "Matriargaat",maka tarian kaum pria Minahasa tidak di masukkan sebagai bagian upacara adat. Pada jaman periode berburu dan mengumpulkan makanan, sebelum hidup menetap dan bercocok tanam misalnya tarian berburu binatang dan tarian perang. Tapi menyanyi dan menari sebagai sebuah karya seni dengan berbagai ketentuan dan aturan-aturan, sudah ada sejak jaman TOAR-LUMIMU'UT, bahwa menyanyi harus dengan suara "Lengdeng" Reingdeng (nyaring) danmenari harus memegang daun woka (Livistonia Rotundifolia). Tarian MAENGKET tentu baru lahir beberapa generasi setelah jaman TOAR - LUMIMU'UT sebagai upacara terimakasih kepada LUMIMU'UT sebagai dewi Bumi dan TOAR sebagai dewa Matahari, dalam bentuk tarian kesuburan sebelum orang Minahasa mengenal tanaman padi. Nama tarian itu antara lain Maengket TUMUMBAL (mengolah tanah dan menanam biji-bijian), Maengket SUMEPO atau RUMAMBUS tarian memetik sayuran, Maengket MARAMBA setelah periode hidup menetap, membangun negeri dan membangun rumah. Maengket LALAYA'AN tarian muda-mudia pada upacara bulan purnama "Mahatembulelenen".

Peter Bellwood (Sulawesi Islan Crossroads of Indonesia, 1990 halaman. 24) bahwa penduduk negeri PASO (selatan danau Tondano) sudah hidup menetap sejak 3.000. tahun lalu demikian juga di Tonsawang. Tanaman padi mulai ada tahun 500 masehi, muncul pertama di kepulauan Sangihe, berarti padi pertama muncul dari Utara Minahasa, kemungkinan dari Philipina melalui pulau Sangihe. Penulis J.G.F.Riedel menganalisa dalam bukunya "rurumeran ne Empung" bahwa mahadewa MUTU-MUTU hidup abad ke tujuh, dia bernama KUMOKOMBA dan istrinya bernama RINUNTUNAN. Memberi patokan pada kita bahwa fungsi padi pada abad ke tujuh di Minahasa belum penting sebagai bahan komoditi utama, tidak ada beras masih ada makanan umbi-umbian. Tapi pada periode ini sudah ada dwi penanam padi misalnya ; REWUMBENE, RAMPAWENE, SE'E WENE, UNTAIBENE, KEMBU'AN WENE. Abad ke sembilan ada Dewa bernama ARUR KRITO beristri LINTJANBENE (dikelilingi padi) dan dewa ARUR KRITO itu bergelar MUNTU - UNTU (Maha Dewa).

Arti LINTJANBENE (Lingkanbene) tidak ada sebagai Dewi penanam padi, tetapi Dewi penguasa tanaman padi, yang mengatur export beras keluar Minahasa misalnya dikirim ke Ternate. Abad 13 dewi LINGTJANBENE hidup di Tonsea, suaminya bernama RORINGTUDUS bergelar MUNTU - UNTU, abad 15 Dewi LINGKANBENE hidup di Wenang (sekarang Manado) suaminya bernama LOLONG LASUT juga bergelar MUNTU-UNTU, tempat penimbunan padi abad 15 di Wenang bernama "Tokambene"(toka = bukit ; wenw = padi) Dewi LINGKANBENE dan suaminya MUNTU-UNTU abad 15 ini, yang di kisahkan dalam syair lagu Maengket "Owey Kamberu"sekarang ini ……..MUNTU - UNTU tare Walian ko, nimasarani mo, milek se pangoreian mene'sel o wusang.

Artinya :MUNTU - UNTU engkau pemimpin adat dan agama asli, setelah di babtis Kristen Katolik (oleh Spanyol) engkau menyesal juga melihat tarian"Mangorai"

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa jenis Maengket OWEY KAMBERU baru muncul di Minahasa abad ke sembilan, setelah fungsi padi dalam hal ini Beras dijadikan sebagai alat politik ekonomi para kepala-kepala Paksa'an Minahasa dimana Kepala walak sebagai MUNTU - UNTU dan istrinya berfungsi sebagai LINGKAN WENE.

Syair Maengket dengan jelas menerangkan, siapa MUNTU - UNTU abad 15, yakni MUNTU - UNTU yang di baptis masuk Kristen, dan kepala walak orang Minahasa pertama dibabtis Kristen adalah kepala walak negeri Wenang. Ada raja Manado(pulau Manadotua) TULULIO yang sebelumnya telah dibabtis Pater Portugis, tapi raja Manado di pulau "Manaro&quo (manadotua) bukan kepala walak Minahasa dan tidak berkuasa atas daratan Minahasa. Adalagi kepala walak di wilayah kota Manado sekarang ini yakni ayah LOLONG LASUT bernama RURU ARES sebagai kepala walak negeri Ares Tikala, tapi tidak masuk Kristen. Peranan produksi beras Minahasa baru mulai tercatat setelah munculnya bangsa barat Portugis di Ternate tahun 1511 dan Spanyol 1521, penduduk pulau Ternate dan penghuni Benteng Portugis - Spanyol di Ternate makan nasi, tapi di pulau Ternate tidak tumbuh tanaman padi. Tahun 1609 V.O.C Belanda sudah datang membeli beras ke pelabuhan Wenang Manado, kemudian peperangan yang terjadi di Minahasa antara Spanyol dengan V.O.C. Belanda, antara spanyol dengan orang Minahasa tahun 1644, antara orang Minahasa dengan Hindia Belanda tahun 1808, semuanya disebabkan oleh produksi beras Minahasa.

Peranan LINGKAN WENE ini yang tercermin dalam syair lagu Maengket"Owey Kamberu" yakni LINGKAN WENE yang hidup abad kesembilan di Tontemboan, LINGKAN WENE yang hidup abad 13 di Tonsea, dan LINGKAN WENE yang hidup abad 15 di Tombulu. Produksi padi yang melimpah seperti air sungai, menaikkan eksport beras yang memberi kemajuan dalam perekonomian masyarakat, LINGKAN WENE abad 15 sampai berlayar menemui Gubernur Spanyol di Ternate. Tapi karena meninggalkan MUNTU UNTU suaminya di Wenang (Manado) maka ceriteranya berkepanjangan sampai terjadi perang orang Tombulu mengusir orang Spanyol tahun 1643 akibatnya 10 Agustus 1644 seluruh orang Minahasa memerangi Spanyol supaya meninggalkan Minahasa.

Ceriteranya produksi beras dan politik perdagangan beras yang melakukan hati dari Dewi LINGKAN WENE ini, yang dijadikan kata semboiyan dengan lagu …………………..OWEY SIKAMBERU Eeee. Bukan saja proses kerja, menanam, mencangkul, memelihara, memetik,mengumpulkan dalam lubung padi, menumbuknya menjadi beras, yang melelahkan. Tapi juga usaha keras dewi padi LINGKAN WENE untuk menaikkan produksi beras, menaikkan tingkat ekonomi masyarakat dan keluarga, sering berakibat hal yang mengecewakan. Menyusahkan hati, melelahkan pikiran, karena kekayaan tidaklah segalanya bila dewi padi (Lingkan wene) sampai harus bertengkar bahkan bererai dengan suaminya Maha Dewa MUNTU - UNTU.
Sebuah syair Maengket "Owey Kamberu" periode sebelum tahun 1900 (buku : De Minahasa-N.Graafland. 1898. halaman.292) sebagai berikut ………..Lingkambene, temboanu si mahatepu wana laser Temboanu si mahatepu wana lesar, sa sia kana'uanupe' Oweeii………Terjemahan : Lingkanwene, lihatlah si yang muncul di halaman, lihatlah lihatlah si yang muncul di halaman, apabila engkau masih mengenal-nya ….Oweeiii…..

Syair ini mengisahkan bahwa dewi padi Lingkanwene abad 15, tidak mau mengenal suaminya yang bergelar maha dewa MUNTU - UNTU. Padahal perekonomian minahasa abad 15-16 mengalami kemajuan, Mulai ada sapi dan kuda di Minahasa,mulai menggunakan Kadera (korsi), meja, senapan(muskat), busana kemeja, cermin, sisir, kain sutra India dan kain sutra Cina, porselein Cin dinasti Ming yang Indah, gerobak pedati,topi kuningan dari Portugis dan Spanyol, Lantaka (mariam), sepatu dan sebagainya.
Semuanya melakukan hati dan pikiran suami istri dewi padi LINGKAN WENE dan maha dewa MUNTU - UNTU …..Owey Kamberu……….. Ada satu baris sastra mengenai dewi padi LINGKAN WENE yang mendapat perluasan pengertian kata petunjuk, contoh ENDO artinya hari, SI ENDO artinya MATAHARI sebagai berikut : Esa uman giyo si Lingkanwene Waya'an si pelengan … kumamnberu, kamberu

Apa bedanya dengan kalimat :

Esa uman giyo ni Lingkanwene

Syair dari buku "A'asaren wo raranian ne Touw un Bulu" tulis J.G.F.Riedel  tahun 1869, nyanyian nomor 88 ESA UMAN GIYO SI LINGKAN WENE ingin menjelaskan bahwa SI LINGKAN WENE yang hidup abad 15 (istri Lolong  Lasut), yang hidup abad 13 (istri Roring Tudus) yang hidup abad 9 (istri Arur  Krito) punya kebebasanuntuk menikah lagi "Waya'an si Pelengan" agar tetap    berkuasa mengendalikan produksi beras.
Dengan demikian harus mengorbankan  kebahadiaan perkawinannya agar tetap mengendalikan produksi beras di seluruh  Minahasa. Kisah hidup LINGKAN WENE abad 13 dan abad 9 pasti sama tragisnya dengan kisah LINGKAN WENE abad 15. anak perempuan dari TORINDATU menikah pertama dengan saudagar besar AWONDTU, menikah kedua dengan    penguasa Wenang LOLONG LASUT yang bergelar MUNTU - UNTU, lalu menjadi istri Gubernur Spanyol di Ternate ANTONIUS GALVANO, kemudian  MUNTU - UNTU (Lolong Lasut) berlayar ke Ternate untuk dibaptis menjadi JESO KRISTO terlihat pada syair Mengket Tonsea sebagai berikut :

Muntu untu tare Wadianko, simengkot lako Simengkottarelako ko Minaseranimo
Artinya : Muntu untuk engkau kepala agama asli, engkau berlayar engkau sudah berlayar pergi masuk Kristen.

Setelah bercerai dengan Gubernur spanyol, LINGKAN WENE kembali ke Wenang Manado, mengangkat anak lelakinya dengan Gubernur Spanyol bernama MAINALO menjadi raja Minahasa, yang tidak di setujui orang Minahasa hingga timbul perang mengusir orang Spanyol dari Minahasa tanggal 10 Agustus 1644, maka berakhirlah pemberian gelar LINGKAN WENE dan MUNTU - UNTU pada sistim pemerintahan adat Minahasa……Kumamberu, Kamberu Owey….


Sumber : www.maengket.com

MENGENAI TARIAN MAENGKET

Kata MAENGKET terdiri dari kata dasar ENGKET yang artinya mengangkat tumit kaki turun naik, dan awalan MA yang merubah kata dasar menjadi kata kerja menari-turun naik. Dengan demikian sebutan klasifikasi jenis MAENGKET :

Maengket "Owey Kamberu" dapat dikatakan menari "Owey Kamberu", Maengket "Marambak" dapat dikatakan menari "Marambak", Maengket "Lalayaan" dapat dikatakan menari "Lalayaan".

Fungsi MAENGKET dalam upacara adat jaman tempo dulu, adalah sebagai bahagian dari serangkaian upacara petik padi MANEMPO' (Tontemboan), MANGUPU' (Tombulu, Tonsea), MASAMBO (Tondano). Yang terdiri dari Tarian untuk mengundang roh leluhur Dewa-Dewi dan nyanyian memuji SI EMPUNG (Tuhan) disebut SUMEMPUNG dan minta berkat perlindungan pada Dewa-Dewi yang disebut MENGALEI. Oleh karena itu tarian MAENGKET sebenarnya bukan murni tarian, tapi perpaduan dua cabang kesenian yakni seni tari dan seni menyanyi. Ada dua tarian Minahasa yang sudah punah, dimana si penari tidak menyanyi yaitu MANGOLONG tarian upacara kedukaan dan MAHAWALIAN tarian para pemimpin adat dan agama asli TONA'AS dan WALIAN. Dengan demikian tarian MAENGKET termasuk cabang kesenian tradisional Minahasa, yang memiliki "Faktor kesulitan" yang cukup tinggi dalam pelatihannya dan penampilannya, karena harus menghayati gerak tari dan intonasi suara.

 

Yang dimaksud dengan rangkaian upacara petik padi adalah musim pesta adat yang berlangsung selama sembilan hari, dengan tarian "Maowey Kamberu", tarian "Lalayaan" pada upacara bulan purnama MAHATAMBULELENEN (Tombulu), MASISERAP (Tontemboan). Dan biasanya di ikuti dengan upacara SUMOLO (solo = lampu) pada pemasangan lampu rumah baru untuk pertama kalinya, tarian pada acara ini disebut "Marambak" (rambak = Banting kaki) untuk secara simbolisasi menguji kekuatan rumah. Rumah adat Minahasa jaman tempo dulu disebut "Wale wangko" (rumah besar) yang bentuknya memanjang dihuni oleh tujuh sampai sembilan keluarga. Apabila penduduk sebuah "Wanua" atau "Ro'ong" yang dalam bahasa melayu Manado disebut "Negeri" sudah cukup banyak, maka dibangunlah satu rumah baru untuk keluarga-keluarga baru yang ingin memisahkan diri dari orang tua mereka. Peresmiannya dilakukan setelah panen raya padi yakni setelah bulan purnama raya, urutan-urutan upacara adat telah di tentukan sebelumnya oleh pemimpin negeri, merangkap pemimpin adapt TONA'AS WANGKO. Setelah bintang tiga "Kateluan" terlihat, maka si Tonaas mulai membuat simpul pada seutas tali disebut "Mamules", tiap hari membuat satu simpul pada tali selama sembilan hari kemudian istirahat satu hari.

 

Kemudian dilanjutkan lagi tujuh hari berturut-turut lalu istirahat satu hari, selanjutnya lima hari lagi lalu istirahat, dan tiga hari lagi, pada hari berikutnya adalah bulan purnama raya. 9 + 1 + 7 + 1 + 5 + 1 + 3 + 1 = hari ke-28 bulan purnama raya, tujuh hari sebelum bulan purnama dilakukan tarian "Maengket Owey Kamberu" dihalaman batu TUMOTOWA, pada hari ke-28 secara resmi panen raya dimulai, malam harinya adalah bulan purnama raya dilakukan "Maengket Lalaya'an, tujuh hari setelah bulan purnama dilakukan peresmian rumah baru upacara "Sumolo". Karena TONA'AS WANGKO juga memegang jabatan sebagai TONA'AS SAKA (Panglima perang) pemimpin para "Waranei", maka ketika melihat bintang tiga "Kateluan" muncul, maka dia menyuruh anak buahnya "Mamu'is" pergi menangkap tawanan bila ada upacara naik rumah baru. Karena sebelum pemasangan atap rumah baru ada upacara "Pangari'ian" (ari'i = tiang) raja, kurban kepala manusia ditanamkan dibawah tiang raja, inilah yang dimaksud syair "Mangido-ngido-do" pada Maengket Marambak Tonsea.

Pemimpin tarian MAENGKET adalah kaum wanita sebagai "Walian in uma" pemimpin upacara kesuburan pertanian dan kesuburan keturunan, dibantu oleh "Walian Im penguma'an" lelaki dewasa. Pemimpin golongan WALIAN atau golongan agama asli (agama suku) disebut "Walian Mangorai" seorang wanita tua, yang hanya berfungsi sebagai pengawas dan penasehat dalam pelaksanaan upacara-upacara kesuburan. Untuk memulai tarian maka si pemimpin tarian MAENGKET menari melambai-lambaikan saputangan mengundang dewi bumi (Lumimu'ut), dan setelah kesurupan Dewi Bumi, barulah tarian dimulai, oleh karena itu semua penari MAENGKET harus memakai saputangan. Agar supaya para penari tidak kemasukan (kesurupan) roh jahat (Tjasuruan Lewo') ada pembantu TONA'AS WANGKO menemani "Walian in uma" yang disebut "Tona'as in uma" pria dewasa yang memegang tombak symbol Dewa Matahari TO'AR (To'or = Tu'ur = tiang tegak = Tombak). Oleh karena itu di halaman batu "Tumotowak" (Tontembuan) "Panimbe" (Tondano), "Pa'lalesan" (Tombulu), "Pasela" (Tonsea) ditancapkan tiang-tiang bambu berhias disebut "Tino'or" (Tontemboan), "Toto'or" (Tombulu), sewaktu dilakukan tarian Maengket "Owey Kamberu". OWEY termasuk kata keluhan karena lelah fisik dan lelah pikiran yang sama artinya dengan Bahasa Tondano AMBO, rasa lelah yang berada diluar kekuasaan manusia, hingga keluhan membawa rasa nikmat, menikmati rasa lelah karena ada hasil yang menyenangkan dibalik kelelahan itu, misalnya lelah menanam padi akan menghasilkan kesenangan waktu menuai padi.

 

Karena Minahasa terdiri dari kesatuan beberapa sub ethnic seperti, Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tondano, Tonsawang, Ratahan Ponosakan dan Bantik. Maka syair lagu nyanyian MAENGKET juga memakai dialek bahasa-bahasa sub ethnic Minahasa tersebut, menyebabkan ada beberapa sebutan istilah yang berbeda misalnya MA'OWEY (Tombulu, Tonsea) di Tontemboan disebut MAWINSON, MAKAMBERU di Tombulu disebut MAWAREI DI Amurang-Tontemboan. Tapi semua subethnik Minahasa mengakui bahwa Dewi padi itu bernama LINGKANWENE (liklik = keliling, Wene = padi) yang dikelilingi padi, penguasa produksi padi, suaminya adalah pemimpin semua Dewa-dewi, Maha dewa MUNTU-UNTU. Ada tiga orang leluhur Minahasa yang bergelar MUNTU-UNTU dan istrinya bernama LINGKANWENE, yang pertama kemungkinan hidup abad ke-sembilan, yang kedua hidup abad ke-12, yang ketiga hidup abad 15. MUNTU-UNTU yang terakhir inilah yang di kisahkan dalam syair "maowey kamberu" telah dibabtis oleh Pater Spanyol masuk Kristen-katolik. Umumnya ceritera dewa-dewi padi, MUNTU-UNTU, TAMATULAR, SAMBALEAN, PARENKUAN, TUMIDENG, PANAMBUNAN (dewa padi lading), PALENEWEN (dewa padi sawah) dalam lagu "Maowey Kamberu" berkisah sedih yang melelahkan hati. Tapi produksi beras di Minahasa sangat terkenal di kawasan Indonesia Timur, sehingga mengundang bangsa barat Spanyol menanam padi sawah di Motoling Minahasa Selatan dan baru berakhir tahun 1644 selama satu abad. Yang bergelar MUNTU-UNTU yang dibabtis pater Spanyol sudah pasti LOLONG LASUT karena dotu inilah yang memberi ijin Spanyol mendirikan kantor dagang "Loji"di "Menango labo" (pelabuhan Wenang) sekarang kota Manado.

 

Tangga nada lagu MAENGKET dalam upacara adat disebut Penthatonis Owey (lima not) ; la (6), sol (5), mi (3), re (2), do (1), dan Penthatonis ROYOR (lima not) ; si (7), la (6), sol (5), mi (3), re (2).

Setelah tahun 1900 tarian MAENGKET tidak lagi menjadi bahagian dari upacara adat, karena upacara-upacara adapt di Minahasa yang disebut "Posan" tidak lagi dilakukan orang Minahasa. Tarian MAENGKET kemudian menjadi salah satu cabang kesenian "Seni Pertunjukkan" terutama sekali pada acara "Kuda Baan" (Balapan kuda) di Sario-Manado, Walian-Tomohon, Kawangkoan Tonsea, Kawangkoan Tontemboan, Tasuka-Kakas, kelompok MAENGKET saling bertanding memperebutkan bendera merah putih. Tidak adalagi "Kesurupan" dalam menari MAENGKET semua patokan ke-indahan penampilan lomba ditentukan berdasarkan teori hukum-hukum seni musik dan seni tari dengan menggunakan dasar "Estetika" seni tradisi. Sekitar tahun 1950-an setelah Hindia Belanda angkat kaki dari Minahasa, lahirlah jenis MAENGKET "Imbasan" yang secara umum syair utamanya mengenai perjuangan kemerdekaan dan falsafah Negara, yang mengandung muatan misi agama Kristen disebut "Tari Jajar". Aturan dan ketentuan tarian MAENGKET menjadi longgar dan kehilangan pegangan yang disebut "Pakem" dalam ilmu teori tarian jawa. Oleh karena itu banyak pakar MAENGKET di Minahasa kemudian meneliti lagi aturan-aturan Maengket jaman sebelum tahun 1900, yang mungkin dapat di sesuaikan dengan MAENGKET jaman sekarang.

 

Yang tidak dapat dirubah lagi adalah bahwa tangga nada MAENGKET jaman sekarang adalah "Diatonis"; do (1), 2 (re), mi (3), fa (4), sol (5), la (6), si (7), 1, satu oktaf. Pemimpin tarian MAENGKET tidak dapat lagi dinamakan "Walian in Uma" (wanita) atau "Walian im Penguma'an" (pria) tapi disebut KAPEL.

Tapi pengaruh fungsi MAENGKET sebagai upacara adat jaman tempo dulu, belum sama sekali menghilang di Minahasa hingga sekarang ini. Yakni muatan Supranatural yang dalam bahasa Belanda disebut "Mokus Pokus" yang prakteknya masih terasa terutama dalam acara pertandingan MAENGKET memperebutkan kejuaraan.

Tapi masalah diluar teori ini, hanya sekedar untuk diketahui dan memang tidak dapat dibahas sebagai pengetahuan ilmu seni, karena terdapat secara umum dalam dunia kesenian tradisional diseluruh nusantara. Ciri has suara penyanyi MAENGKET dengan nada keras dan melengking yang disebut "Suara lima" tidak termasuk Supranatural, walaupun jaman tempo dulu penyanyi MAENGKET mengarahkan suaranya ke gunung-gunung tinggi tempat bersemayam Dewa-dewi. Anggap saja hadirin dan para penonton itu Dewa-dewi, karena nama-nama para leluhur dewa-dewi itu masih digunakan orang Minahasa hingga sekarang ini, seperti ; TULAR (Tamatular), TILAAR (Tumilaar), MUNTU-UNTU, MAMOTO', PARENGKUAN, PANAMBUNAN, PALENEWEN, dan sebagainya.

1 komentar: